Mereka Mengira Saya…
(Chapter 1: Lugu)
Kebanyakan orang mengira saya ini lugu, entah karena raut wajah saya yang cenderung innocent atau naif atau bagaimana. Seringkali orang yang baru pertama kali mengenal saya salah menafsirkan umur saya lebih muda daripada umur saya sesungguhnya. Biasanya mereka menanyakan dengan cara demikian, “Sudah kelas berapa?” dan akan terkaget-kaget ketika saya menjawab bahwa saya sudah semester akhir kuliah. Saya sendiri lebih suka beranggapan bahwa mereka mengira saya lugu karena 1)saya tidak ber-make up; 2)dress code saya kebanyakan jeans, kaos, jaket, gelang sporty, tas ransel; 3)wajah polos tidak ekspresif, bibir manyun kanan-kiri. Sedikit mengherankan, dengan modal lugu semacam ini, saya justru sering dijadikan incaran kenalan oom-oom.
Sebelum lebih lanjut menceritakan pengalaman saya, ada baiknya saya memberikan gambaran range usia yang saya kategorikan oom-oom. Menurut saya yang disebut oom-oom itu usia 30-40 pertengahan, sedangkan menurut sahabat saya Anin, yang disebut oom-oom itu usia 20 akhir sampai pertengahan 30. Pernah suatu ketika kami berdua makan di Mister Burger, lalu saya bilang “Non..,tuh,tuh…itu oom-oom yang suka jalan sama si CinderXXX (menyebut nama seorang teman yang hobinya jalan sama oom-oom)…” Anin balas bertanya, “Yang mana? Yang di depan juice itu? Ya elah…itu mah bukan oom-oom tapi bapak-bapak”. Setelah saya telusuri lagi, logis juga perbedaan perspektif saya dan Anin. Bapak Anin usianya saat ini menginjak 56 tahun, sedangkan bapak saya 70 tahun
Oom Chandra
Saya bertemu dengan oom Chandra di bus Wonogiri-Solo. Pertamanya hanya obrolan biasa basa-basi tentang kuliah, keluarga dan sebagainya. Jujur saja saya tidak terlalu mendengarkan si oom ini bicara panjang lebar, karena sebelah telinga saya pasang Ipod. Yang saya tangkap, si oom ini bekerja di bank di bilangan Slamet Riyadi Solo dan masih lajang. Sebenarnya saya malas menanggapi, tapi si oom ini terus saja bercerita panjang lebar sampai pada hobinya off-road. Yang membuat saya sangat heran, si oom ini sangat lihai melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris secara tiba-tiba dan tersirat, misalnya:
“Kamu pakai kaos biasa ukurannya apa? Nanti kalau ada event lagi, aku mintain ke panitia off-roadnya. Tapi kira-kira kamu takut nggak naik mobil off-road? Nanti minta turun lagi di tengah jalan…?!”
“Kamu paling suka makan apa? Rabo besok aku ke Jogja, kamu beritahu kontrakan kamu biar aku jemput makan. Tapi jangan diputer-puterin loh nyari kontrakan kamu…”
“Eh…kamu arsitektur yah? Hmmm…aku banyak kenal tuh sama orang-orang perencanaan kota. Kapan-kapan deh aku hubungin kamu ke orang-orangnya”.
Selain itu, si oom mentang-mentang usianya jauh lebih tua seringkali melontarkan kalimat-kalimat bernada nasehat, misalnya:
“Nanti kamu turunnya di terminal aja deh, jangan di Kerten… Kan bisa dapet bus yang pakai patas AC, lebih aman, cepet sampai”.
“Perempuan itu kalau nggak serius mendingan nggak usah sekalian. Kalau jalan sama lain jenis, kan yang rugi ya perempuannya sendiri, ya nggak?”
Sepanjang perjalanan saya tertawa dalam hati, saya sudah bisa menduga jalan ceritanya. Benar, tidak lama kemudian, ketika sudah hampir sampai tempat tujuannya, si oom meminta nomor ponsel saya. Saya beri saja nomor lama yang rencananya akan saya hanguskan. Saya semakin geleng kepala ketika si oom beranjak turun dari bus, berpesan pada saya “Mas turun di sini…Kamu hati-hati yah?!” By the way, sejak kapan saya diadopsi menjadi adiknya?
Oom Andre
Ketika itu saya sedang mencatat jadwal kereta api di depan loket stasiun Balapan, tiba-tiba datang seseorang menitipkan kopernya untuk mengambil uang di ATM yang kebetulan ada di luar area stasiun. Sekembalinya, orang itu mengucapkan terimakasih dan memperkenalkan dirinya. Dialah oom Andre yang saya tengarai sebagai orang Indonesia bagian timur karena logatnya yang tidak biasa. Seperti yang sudah-sudah, semua dimulai dari percakapan basa-basi. Entah bagaimana, yang saya dapati kemudian adalah bahwa si oom ini suka pamer, misalnya:
“Sebenarnya saya dapat kesempatan sekolah lagi di Belanda. Saya sudah hampir berangkat, tapi Papa Mama tidak mengizinkan. Ya apa boleh buat?!”
“Beberapa malam ini saya menginap di Hotel depan sana. Bintang tiga yah sepertinya, tempatnya enak, bersih, pelayanannya juga bagus. Setelah ini saya akan ke Semarang…”
“Saya sudah empat kali kehilangan BB, makanya sekarang setiap bepergian harus ekstra hati-hati. BB masuk koper, saya pegang ponsel butut. Beres sudah.”
Dan juga kalimat-kalimat penuh nasehat, misalnya:
“Kamu masih muda, mumpung semangat belajar masih tinggi, masih banyak kesempatan. Jadi orang pandai, lalu berkarir, rumah tangga dipikir belakangan.”
“Kalau memang ada cobaan, kamu berdoa. Tanya Yesus, apa yang Dia harapkan dari semua ini, jangan menyerah!”
Kebetulan saat itu sepertinya saya sedang tidak ingin mendengar ceramah, padahal jika dipikir lebih lanjut nasehat si oom ini ada benarnya juga. Saya menunggu kesempatan meninggalkan tempat itu, dan saya diselamatkan oleh ringtone ponsel si oom. Begitu si oom mengangkat ponselnya, saya memberi isyarat pamit. Huff…
Oom Nasaas
Sekali waktu saya pernah sengaja meminta teman saya CinderXXX mengajak saya hangout dengan oom-oom. Tujuan saya tak lain tak bukan adalah melihat lebih dekat seperti apa kehidupan teman saya yang menjadi gunjingan massal itu. Sampai saat ini teman saya si CinderXXX tampaknya tidak mengetahui maksud terselubung saya. Dalam benaknya, saya ingin mengikuti jejaknya. *Maaf ya CinderXXX, saya tidak tertarik menjadi seperti kamu…
Oom Nasaas menjemput pada suatu sore dengan mobil mewahnya. Dalam waktu singkat dari pembicaraan si oom dan CinderXXX, saya bisa menarik kesimpulan-kesimpulan sederhana bahwa oom ini sudah berumah tangga, memiliki banyak usaha di bidang yang bervariasi, simpatisan parpol tertentu dan berambisi di bidang politik. Si oom ini bicara panjang lebar tentang politik dan tentang issue-issue sosial. CinderXXX mengikuti, seperti benar-benar mengerti, padahal tidak sama sekali. Tetapi saya bisa melihat raut puas dari wajah si oom. Di sini saya menyimpulkan bahwa oom-oom senang dianggap cerdas, dan ketika ia tidak mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebaya, ia akan mencari korban yang lebih inferior dibanding dirinya. Pada kesempatan itu saya disadarkan oleh kenyataan pergaulan perkotaan, bahwa sudah menjadi hal yang lumrah bagi seseorang dengan level ekonomi atas seperti oom Nasaas pergi kencan dengan gadis-gadis meskipun dirinya sudah berumah tangga. Semakin banyak, semakin cantik, semakin muda gadis yang dibawa akan meningkatkan status sosialnya di kalangan terbatas. Malam itu memang tidak terjadi apa-apa antara oom Nasaas dan CinderXXX, tapi entahlah bagaimana ceritanya jika saya tidak ada, saya tidak ingin berspekulasi.
Pengalaman saya dengan oom-oom ini bisa jadi bahan pembelajaran yang cukup baik bagi saya pribadi, meskipun masih terlintas pertanyaan yang tak terjawab: apakah raut wajah lugu sama artinya dengan culun dan gampang diperdaya?! Sebenarnya saya berkeinginan untuk memperdalam penyelidikan saya, tetapi untuk saat ini saya belum berani mengambil resiko. Paling tidak pengalaman ini selalu saya bagi dengan pacar, lalu kami jadikan bahan bercandaan. Pacar saya malah dengan santainya bilang, “Eh…enak dong Mi. Nanti kalau kita lagi nggak ada duit, aku bisa jual Mimi ke oom-oom. Mari-mari silahkan masuk yang sudah beli tiket, istri saya sudah siap di dalam…”
Padahal Saya…
(Chapter 1: Sama Sekali TIDAK Lugu)
Mereka yang mengira saya lugu tampaknya harus patah hati, karena saya justru sama sekali tidak lugu. Saya hanya manusia yang pandai menyembunyikan ekspresi dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Saya tidak keberatan dianggap lugu, justru itu suatu keuntungan bagi saya karena orang lain merasa aman berada di dekat saya. Saya bisa saja menjadi pendengar yang baik tanpa banyak komentar sehingga orang merasa nyaman bicara jujur pada saya. Saya bisa saja berpura-pura mengikuti pembicaraan sehingga orang merasa saya tertarik dengan pembicaraannya. Saya bisa saja berlagak tidak mengerti sehingga orang tidak bertanya-tanya darimana saya mempelajarinya. *Terdengar mengerikan, eh?!
Lugu = Bodoh ???
Bagi saya pandai atau tidaknya seseorang tidak bisa didasarkan pada angka-angka, melainkan suatu kualitas. Saya banyak membaca, dengan aksara maupun tidak. Saya tidak ingin mematikan rasa keingintahuan dalam diri saya. Dengan demikian saya mengerti. Saya menyadari bahwa hidup itu terbatas, maka itu saya berusaha sebanyak mungkin mengisi hidup saya dengan pengetahuan dan pengalaman. Tidak banyak orang yang tahu, memang. Saya lebih suka berperan menjadi orang bodoh. Padahal seringkali pemikiran saya jalang dan menurut pacar saya cenderung radikal. Sahabat saya, Jono, dengan lebih ekstrem mengatakan saya ‘sakit’.
Saya sendiri menyadari perspektif yang saya lontarkan seringkali berbeda dengan orang kebanyakan. Cara yang saya tempuh bisa saja berbeda dari orang lain, meskipun hasil akhir yang saya tuju sebenarnya sama. Beberapa tahun terakhir ini saya belajar untuk lebih menghargai diri saya dengan mempertahankan originalitas pemikiran. Tidak terbias. Pengamat yang bersikap.
Lugu = Lemot ???
Mereka yang telah lama mengenal saya tidak akan mengatakan saya lemot, karena mereka mengalami saya sebagai pribadi yang sangat spontan dan bertenaga. Saya cenderung berpikir cepat dan praktis dalam pemecahan berbagai masalah sederhana sehari-hari. Saya dapat menangkap maksud tersirat dari kata-kata, gesture, dan mimik seseorang dalam waktu singkat.
Parahnya, hal ini justru menjadi sebuah boomerang bagi saya sendiri. Akibat saya terlalu peka dan tidak diimbangi dengan EQ yang tinggi, hati saya menjadi mudah terluka dan merasa tersakiti. Karena itulah saya lebih sering menyembunyikan ekspresi saya sebenarnya. Saya baru akan menunjukkan ekspresi saya kepada seseorang setelah saya merasa telah cukup nyaman dengannya. Sekiranya saya membutuhkan waktu untuk menilai seseorang sebelum memutuskan untuk mempercayainya.
Lugu = Polos ???
Saya justru orang yang sangat-sangat mesum, meskipun kata tersebut tidak benar-benar sesuai dengan kasus saya. Saya mempelajari sex sebagai kesehatan, psikologis, seni, dan humor. Pernah suatu kali kakak-kakak saya berkelakar hal-hal jorok tentang sex, dan saya diam tanpa ekspresi. Mereka beranggapan saya tidak mengerti, tetapi justru mereka yang tidak mengerti bahwa saya diam karena bagi saya kelakar mereka hanya semacam gojek kere, saya tahu yang jauh lebih bermutu dari itu *hahaaa…
Berbekal kemesuman saya, teman menjuluki saya MahaGuru. Saya adalah perempuan yang menemani teman laki-laki saya meminjam bokep dan hentai. Saya adalah perempuan yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sekonyol apapun, seperti aturan ukuran bra atau sunat perempuan atau letak g-spot. Saya adalah perempuan yang tidak akan menertawakan teman yang mengakui dirinya kerap onani atau ejakulasi dini. Dan satu lagi, saya tidak peduli apakah saya guru atau bukan, karena untuk mengerti terkadang yang diperlukan hanya kesediaan berbagi.