Klarifikasi

Posted: May 12, 2011 in Uncategorized

1)
Sebentar lagi akan datang waktunya klarifikasi. Silahkan saja tetap diam, karena itu berarti kau akan setuju saja dengan apa yang kukatakan, meski sungguhpun aku tak mengerti. Kalau kau tanya kenapa, aku hanya punya satu jawaban: aku sudah. Kalau kau tanya sudah apa, aku punya beribu jawaban, yang ku tahu pasti kau tak senang mendengarnya.
Mereka bilang, mereka tahu
Tentang kita
Padahal aku tak tahu apa-apa
Tentang kita *)

Jangan bilang aku berubah. Jangan membodohiku seperti yang sudah-sudah. Jika Tuhan Mahatahu, yang tidak diketahui-Nya ialah jalan pikiranmu dan aliran perasaanmu. Kau meretas embun di pagi hari lalu jatuh mengkristal sekam di senja nanti. Apalagi yang bisa kukatakan selain sudah?!

2)
Sesaat tadi usailah klarifikasi. Aku sudah mengatakan semuanya. Semuanya tentang kau dan aku. Semuanya yang kau dan aku sama-sama tahu, meski entah apakah kau setuju. Kau diam saja, tak bicara, tak bergerak. Rasanya aku gatal, ingin teriak di telingamu, “Bantu aku!!! Ini perkara antara KAU dan AKU, kenapa kau biarkan aku SENDIRI???”
Mereka diam
Di mulut
Di bibir
Tapi tidak di otak dan benak
Dan mata-mata-mata-mata-mata-mata….
Mereka berusaha membunuhku
Kutinggalkan kau dengan salam perpisahan paling getir yang pernah kucecap. Kupikir semestinya semua sudah.

3)
Waktu-waktu berlalu sejak klarifikasi. Agaknya aku salah, dan semuanya tidak jadi sudah. Meski kau dan aku sudah. Dan aku mulai kepayahan menghadapi imajinasi liar mereka tentang kau dan aku, ketika kita telah lama menyerah dan terpisah.
Mereka menunggu
Klarifikasi yang lain, yang benar, yang jujur
Mereka menunggu
Klarifikasi yang dapat membuat mereka tertawa puas
Dan lantas berkata “I knew it… Sudah kuduga, bla bla bla…”
Lalu apa yang harus kukatakan lagi ketika aku memang tak punya klarifikasi yang mereka mau?! Apa yang harus kulakukan lagi ketika mereka membunuhku berkali-kali padahal aku sudah?!
Maaf, kukatakan sekali lagi, aku sudah. Titik.

Mereka Tentang Saya (1)

Posted: May 12, 2011 in Uncategorized

Mereka Mengira Saya…
(Chapter 1: Lugu)

Kebanyakan orang mengira saya ini lugu, entah karena raut wajah saya yang cenderung innocent atau naif atau bagaimana. Seringkali orang yang baru pertama kali mengenal saya salah menafsirkan umur saya lebih muda daripada umur saya sesungguhnya. Biasanya mereka menanyakan dengan cara demikian, “Sudah kelas berapa?” dan akan terkaget-kaget ketika saya menjawab bahwa saya sudah semester akhir kuliah. Saya sendiri lebih suka beranggapan bahwa mereka mengira saya lugu karena 1)saya tidak ber-make up; 2)dress code saya kebanyakan jeans, kaos, jaket, gelang sporty, tas ransel; 3)wajah polos tidak ekspresif, bibir manyun kanan-kiri. Sedikit mengherankan, dengan modal lugu semacam ini, saya justru sering dijadikan incaran kenalan oom-oom.
Sebelum lebih lanjut menceritakan pengalaman saya, ada baiknya saya memberikan gambaran range usia yang saya kategorikan oom-oom. Menurut saya yang disebut oom-oom itu usia 30-40 pertengahan, sedangkan menurut sahabat saya Anin, yang disebut oom-oom itu usia 20 akhir sampai pertengahan 30. Pernah suatu ketika kami berdua makan di Mister Burger, lalu saya bilang “Non..,tuh,tuh…itu oom-oom yang suka jalan sama si CinderXXX (menyebut nama seorang teman yang hobinya jalan sama oom-oom)…” Anin balas bertanya, “Yang mana? Yang di depan juice itu? Ya elah…itu mah bukan oom-oom tapi bapak-bapak”. Setelah saya telusuri lagi, logis juga perbedaan perspektif saya dan Anin. Bapak Anin usianya saat ini menginjak 56 tahun, sedangkan bapak saya 70 tahun 

  • Oom Chandra
  • Saya bertemu dengan oom Chandra di bus Wonogiri-Solo. Pertamanya hanya obrolan biasa basa-basi tentang kuliah, keluarga dan sebagainya. Jujur saja saya tidak terlalu mendengarkan si oom ini bicara panjang lebar, karena sebelah telinga saya pasang Ipod. Yang saya tangkap, si oom ini bekerja di bank di bilangan Slamet Riyadi Solo dan masih lajang. Sebenarnya saya malas menanggapi, tapi si oom ini terus saja bercerita panjang lebar sampai pada hobinya off-road. Yang membuat saya sangat heran, si oom ini sangat lihai melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris secara tiba-tiba dan tersirat, misalnya:
    “Kamu pakai kaos biasa ukurannya apa? Nanti kalau ada event lagi, aku mintain ke panitia off-roadnya. Tapi kira-kira kamu takut nggak naik mobil off-road? Nanti minta turun lagi di tengah jalan…?!”
    “Kamu paling suka makan apa? Rabo besok aku ke Jogja, kamu beritahu kontrakan kamu biar aku jemput makan. Tapi jangan diputer-puterin loh nyari kontrakan kamu…”
    “Eh…kamu arsitektur yah? Hmmm…aku banyak kenal tuh sama orang-orang perencanaan kota. Kapan-kapan deh aku hubungin kamu ke orang-orangnya”.
    Selain itu, si oom mentang-mentang usianya jauh lebih tua seringkali melontarkan kalimat-kalimat bernada nasehat, misalnya:
    “Nanti kamu turunnya di terminal aja deh, jangan di Kerten… Kan bisa dapet bus yang pakai patas AC, lebih aman, cepet sampai”.
    “Perempuan itu kalau nggak serius mendingan nggak usah sekalian. Kalau jalan sama lain jenis, kan yang rugi ya perempuannya sendiri, ya nggak?”

    Sepanjang perjalanan saya tertawa dalam hati, saya sudah bisa menduga jalan ceritanya. Benar, tidak lama kemudian, ketika sudah hampir sampai tempat tujuannya, si oom meminta nomor ponsel saya. Saya beri saja nomor lama yang rencananya akan saya hanguskan. Saya semakin geleng kepala ketika si oom beranjak turun dari bus, berpesan pada saya “Mas turun di sini…Kamu hati-hati yah?!” By the way, sejak kapan saya diadopsi menjadi adiknya?

  • Oom Andre
  • Ketika itu saya sedang mencatat jadwal kereta api di depan loket stasiun Balapan, tiba-tiba datang seseorang menitipkan kopernya untuk mengambil uang di ATM yang kebetulan ada di luar area stasiun. Sekembalinya, orang itu mengucapkan terimakasih dan memperkenalkan dirinya. Dialah oom Andre yang saya tengarai sebagai orang Indonesia bagian timur karena logatnya yang tidak biasa. Seperti yang sudah-sudah, semua dimulai dari percakapan basa-basi. Entah bagaimana, yang saya dapati kemudian adalah bahwa si oom ini suka pamer, misalnya:
    “Sebenarnya saya dapat kesempatan sekolah lagi di Belanda. Saya sudah hampir berangkat, tapi Papa Mama tidak mengizinkan. Ya apa boleh buat?!”
    “Beberapa malam ini saya menginap di Hotel depan sana. Bintang tiga yah sepertinya, tempatnya enak, bersih, pelayanannya juga bagus. Setelah ini saya akan ke Semarang…”
    “Saya sudah empat kali kehilangan BB, makanya sekarang setiap bepergian harus ekstra hati-hati. BB masuk koper, saya pegang ponsel butut. Beres sudah.”
    Dan juga kalimat-kalimat penuh nasehat, misalnya:
    “Kamu masih muda, mumpung semangat belajar masih tinggi, masih banyak kesempatan. Jadi orang pandai, lalu berkarir, rumah tangga dipikir belakangan.”
    “Kalau memang ada cobaan, kamu berdoa. Tanya Yesus, apa yang Dia harapkan dari semua ini, jangan menyerah!”
    Kebetulan saat itu sepertinya saya sedang tidak ingin mendengar ceramah, padahal jika dipikir lebih lanjut nasehat si oom ini ada benarnya juga. Saya menunggu kesempatan meninggalkan tempat itu, dan saya diselamatkan oleh ringtone ponsel si oom. Begitu si oom mengangkat ponselnya, saya memberi isyarat pamit. Huff…

  • Oom Nasaas
  • Sekali waktu saya pernah sengaja meminta teman saya CinderXXX mengajak saya hangout dengan oom-oom. Tujuan saya tak lain tak bukan adalah melihat lebih dekat seperti apa kehidupan teman saya yang menjadi gunjingan massal itu. Sampai saat ini teman saya si CinderXXX tampaknya tidak mengetahui maksud terselubung saya. Dalam benaknya, saya ingin mengikuti jejaknya. *Maaf ya CinderXXX, saya tidak tertarik menjadi seperti kamu…

    Oom Nasaas menjemput pada suatu sore dengan mobil mewahnya. Dalam waktu singkat dari pembicaraan si oom dan CinderXXX, saya bisa menarik kesimpulan-kesimpulan sederhana bahwa oom ini sudah berumah tangga, memiliki banyak usaha di bidang yang bervariasi, simpatisan parpol tertentu dan berambisi di bidang politik. Si oom ini bicara panjang lebar tentang politik dan tentang issue-issue sosial. CinderXXX mengikuti, seperti benar-benar mengerti, padahal tidak sama sekali. Tetapi saya bisa melihat raut puas dari wajah si oom. Di sini saya menyimpulkan bahwa oom-oom senang dianggap cerdas, dan ketika ia tidak mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebaya, ia akan mencari korban yang lebih inferior dibanding dirinya. Pada kesempatan itu saya disadarkan oleh kenyataan pergaulan perkotaan, bahwa sudah menjadi hal yang lumrah bagi seseorang dengan level ekonomi atas seperti oom Nasaas pergi kencan dengan gadis-gadis meskipun dirinya sudah berumah tangga. Semakin banyak, semakin cantik, semakin muda gadis yang dibawa akan meningkatkan status sosialnya di kalangan terbatas. Malam itu memang tidak terjadi apa-apa antara oom Nasaas dan CinderXXX, tapi entahlah bagaimana ceritanya jika saya tidak ada, saya tidak ingin berspekulasi.

    Pengalaman saya dengan oom-oom ini bisa jadi bahan pembelajaran yang cukup baik bagi saya pribadi, meskipun masih terlintas pertanyaan yang tak terjawab: apakah raut wajah lugu sama artinya dengan culun dan gampang diperdaya?! Sebenarnya saya berkeinginan untuk memperdalam penyelidikan saya, tetapi untuk saat ini saya belum berani mengambil resiko. Paling tidak pengalaman ini selalu saya bagi dengan pacar, lalu kami jadikan bahan bercandaan. Pacar saya malah dengan santainya bilang, “Eh…enak dong Mi. Nanti kalau kita lagi nggak ada duit, aku bisa jual Mimi ke oom-oom. Mari-mari silahkan masuk yang sudah beli tiket, istri saya sudah siap di dalam…”

    Padahal Saya…
    (Chapter 1: Sama Sekali TIDAK Lugu)

    Mereka yang mengira saya lugu tampaknya harus patah hati, karena saya justru sama sekali tidak lugu. Saya hanya manusia yang pandai menyembunyikan ekspresi dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Saya tidak keberatan dianggap lugu, justru itu suatu keuntungan bagi saya karena orang lain merasa aman berada di dekat saya. Saya bisa saja menjadi pendengar yang baik tanpa banyak komentar sehingga orang merasa nyaman bicara jujur pada saya. Saya bisa saja berpura-pura mengikuti pembicaraan sehingga orang merasa saya tertarik dengan pembicaraannya. Saya bisa saja berlagak tidak mengerti sehingga orang tidak bertanya-tanya darimana saya mempelajarinya. *Terdengar mengerikan, eh?!

  • Lugu = Bodoh ???
  • Bagi saya pandai atau tidaknya seseorang tidak bisa didasarkan pada angka-angka, melainkan suatu kualitas. Saya banyak membaca, dengan aksara maupun tidak. Saya tidak ingin mematikan rasa keingintahuan dalam diri saya. Dengan demikian saya mengerti. Saya menyadari bahwa hidup itu terbatas, maka itu saya berusaha sebanyak mungkin mengisi hidup saya dengan pengetahuan dan pengalaman. Tidak banyak orang yang tahu, memang. Saya lebih suka berperan menjadi orang bodoh. Padahal seringkali pemikiran saya jalang dan menurut pacar saya cenderung radikal. Sahabat saya, Jono, dengan lebih ekstrem mengatakan saya ‘sakit’.
    Saya sendiri menyadari perspektif yang saya lontarkan seringkali berbeda dengan orang kebanyakan. Cara yang saya tempuh bisa saja berbeda dari orang lain, meskipun hasil akhir yang saya tuju sebenarnya sama. Beberapa tahun terakhir ini saya belajar untuk lebih menghargai diri saya dengan mempertahankan originalitas pemikiran. Tidak terbias. Pengamat yang bersikap.

  • Lugu = Lemot ???
  • Mereka yang telah lama mengenal saya tidak akan mengatakan saya lemot, karena mereka mengalami saya sebagai pribadi yang sangat spontan dan bertenaga. Saya cenderung berpikir cepat dan praktis dalam pemecahan berbagai masalah sederhana sehari-hari. Saya dapat menangkap maksud tersirat dari kata-kata, gesture, dan mimik seseorang dalam waktu singkat.
    Parahnya, hal ini justru menjadi sebuah boomerang bagi saya sendiri. Akibat saya terlalu peka dan tidak diimbangi dengan EQ yang tinggi, hati saya menjadi mudah terluka dan merasa tersakiti. Karena itulah saya lebih sering menyembunyikan ekspresi saya sebenarnya. Saya baru akan menunjukkan ekspresi saya kepada seseorang setelah saya merasa telah cukup nyaman dengannya. Sekiranya saya membutuhkan waktu untuk menilai seseorang sebelum memutuskan untuk mempercayainya.

  • Lugu = Polos ???
  • Saya justru orang yang sangat-sangat mesum, meskipun kata tersebut tidak benar-benar sesuai dengan kasus saya. Saya mempelajari sex sebagai kesehatan, psikologis, seni, dan humor. Pernah suatu kali kakak-kakak saya berkelakar hal-hal jorok tentang sex, dan saya diam tanpa ekspresi. Mereka beranggapan saya tidak mengerti, tetapi justru mereka yang tidak mengerti bahwa saya diam karena bagi saya kelakar mereka hanya semacam gojek kere, saya tahu yang jauh lebih bermutu dari itu *hahaaa…
    Berbekal kemesuman saya, teman menjuluki saya MahaGuru. Saya adalah perempuan yang menemani teman laki-laki saya meminjam bokep dan hentai. Saya adalah perempuan yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sekonyol apapun, seperti aturan ukuran bra atau sunat perempuan atau letak g-spot. Saya adalah perempuan yang tidak akan menertawakan teman yang mengakui dirinya kerap onani atau ejakulasi dini. Dan satu lagi, saya tidak peduli apakah saya guru atau bukan, karena untuk mengerti terkadang yang diperlukan hanya kesediaan berbagi.

    LACUR

    Posted: May 12, 2011 in Uncategorized

    * ini merupakan essay saya yang berhasil masuk 25 finalis 500 Kata ke Amerika, Jawa Pos (dengan gubahan judul menjadi Pelacuran Intelektualitas)

    Ketika seseorang dihadapkan dengan kata ‘lacur’, mereka cenderung mengidentifikasikan dengan jual-beli tubuh yang dilekati pula dengan kecacatan moral seseorang. Padahal dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, kata ‘lacur’ atau ‘melacur’ berarti suatu kegiatan menjual diri. Kata ‘diri’ tidak sekedar berhenti pada tubuh, melainkan segala sesuatu yang memiliki nilai ke’aku’an. Karena terjebak dalam sempitnya pengejawantahan terhadap ‘diri’, banyak orang terutama kaum perempuan tidak menyadari bahwa dirinya pernah, sedang, atau telah melacur. Pelacuran itu terjadi bukan di daerah lokalisasi, melainkan dalam pergaulan dan bahkan merambah dalam instansi atau institusi tertentu.

    Penampilan adalah hal yang paling banyak mempengaruhi perempuan akhir-akhir ini. Tuntutan pergaulan dan pengaruh buruk televisi agaknya telah mengajarkan perempuan mendewakan penampilan. Hampir semua iklan produk kecantikan menitikberatkan bahwa cantik identik dengan kulit putih, tidak berjerawat, rambut hitam panjang, tubuh langsing, dan entah apa lagi. Lalu bagaimana dengan perempuan yang kebetulan tidak memiliki ciri-ciri cantik tersebut? Pada akhirnya mereka berlomba-lomba menggunakan produk-produk kecantikan, perawatan kecantikan di salon-salon, sampai pada bedah plastik. Dan sebagian yang tidak berhasil akan semakin rendah diri, merasa terkucil dari pergaulan. Karena tuntutan pergaulan yang memberhalakan penampilan itulah, perempuan cenderung enggan mengembangkan bakat atau memperkaya pengetahuan dan pengalaman. Seorang teman yang sedang mencari pekerjaan mengeluhkan betapa sulitnya diterima bekerja dengan penampilannya sekarang. Teman ini melamar pekerjaan di sebuah bank bertaraf nasional dengan IPK di atas rata-rata dan telah lolos tes tulis. Sesaat sebelum dilakukan tes wawancara, berkasnya dikembalikan. Alasan penolakan ini adalah berat badan. Di titik inilah penampilan dieksploitasi menjadi komoditas utama yang lebih dihargai dibandingkan dengan isi kepala dan kompetensi seseorang. Dengan demikian dimulailah pelacuran taraf selanjutnya, pelacuran intelektualitas.
    Hanya dengan bermodalkan penampilan, tanpa didukung oleh pengetahuan atau bakat tertentu, seringkali intelektualitas dipalsukan.

    Sebagian perempuan tidak berani menyatakan dan mempertahankan pendapatnya. Sebagian lagi hanya membebek pendapat orang lain yang mayoritas supaya aman dan tidak dianggap kurang berwawasan. Perempuan seolah sengaja mematikan karakter dirinya sendiri, dan hidup dalam karakter orang lain karena takut dianggap berbeda.

    Erving Goffman, seorang sosiolog asal Kanada mengembangkan teori dramaturgi untuk menyingkap interaksi simbolis individu dan masyarakat. Goffman merumuskan subjek sebagai ketegangan antara ‘I’ dan ‘me’ yakni ketidaksesuaian antara diri manusiawi dan diri hasil sosialisasi yang pada akhirnya menciptakan ruang imajinatif yakni front stage dan back stage, serta sebuah ruang antara yang disebut residual.

    Dalam kasus perempuan yang menjalani pelacuran tubuh, front stage menampilkan mereka dalam wujud seorang wanita asusila yang memperjualbelikan tubuhnya dengan alasan-alasan tertentu. Back stage menampilkan mereka dalam wujud, misalnya seorang ibu, seorang istri, atau seorang teman. Residual menjadi ruang yang lebih pribadi, misalnya penyesalan, ketakutan akan dosa, perenungan, bahkan hubungan vertikal mereka dengan Penciptanya. Sedangkan pada perempuan yang menjalani pelacuran intelektualitas, sayangnya, residual justru menjadi ruang pembenaran atas apa yang mereka lakukan. Disadari atau tidak, perempuan justru mengubah karakter manusiawi mereka dengan diri hasil sosialisasi. Bila perempuan diibaratkan sebagai seorang pemain lakon, ketika pertunjukkan usai mereka melanjutkan hidup sebagai lakon yang mereka mainkan.

    Bukankah hal itu sangat memprihatinkan, jika perempuan kehilangan jati diri dan justru menampilkan segala sesuatu yang bukan dirinya? Mari, Perempuan, mari menjadi apa yang mustinya kita menjadi: diri kita sendiri!

    Surveyor is Survivor

    Posted: May 12, 2011 in Uncategorized

    Bulan Mei setahun kemarin adalah bulan Sensus Penduduk yang dicanangkan pemerintah. Di surat kabar langgananku, Jawa Pos, banyak diliput suka duka para surveyor, atau lebih tepat disebut sensuser. Di rumah orang-orang kaya, mereka acapkali harus maklum diterima di depan pagar, lalu melakukan interview bukan dengan pemilik rumah melainkan dengan petugas jaga. Bukan sekali dua kali pula harus adu keberanian menghadapi anjing-anjing buas sebelum menghadapi pemilik rumah yang entah buas entah tidak. Di rumah orang-orang ekonomi menengah ke bawah, mereka kerapkali dihindari, dianggap petugas pajak atau penagih hutang, sehingga terpaksa mereka harus minta kawalan perangkat desa setempat agar tidak menimbulkan salah pengertian. Belum lagi untuk melakukan sensus di medan berat seperti kawasan slum sampai pedalaman pelosok tanah air.
    Pekerjaan menjadi surveyor terlihat mudah, bahkan monoton, tapi bagiku benar-benar kaya pengalaman *ahhhh….kenapa aku ga ikut audisi jadi sensuser?!nyesel abis….

    Aku sedikit banyak telah mencicipi pekerjaan menjadi surveyor demi tugas-tugas kuliah di arsitektur, dan jujur saja meski aku merasa salah masuk jurusan, pekerjaan survey inilah yang membuatku bertahan. Eh, tapi tunggu dulu…Yang disebut survey dalam arsitektur lebih sering merupakan suatu kegiatan dimana kita pergi ke suatu tempat (site, misalnya bangunan atau lahan) dan mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai objek baik secara fisik maupun non-fisik.
    Tantangan pertama yang harus dihadapi adalah perijinan dan birokrasi. Meskipun sudah dibekali surat dari kampus, biasanya instansi yang bersangkutan tidak dengan mudah mengabulkan. Misalnya sewaktu semester 2, hanya untuk minta ijin memotret toko buku TogaMas saja, mereka mensyaratkan proposal *aduh mas…tugasnya cuma diberi waktu satu minggu, bikin proposalnya aja mungkin bisa satu bulan… Akhirnya dengan akal sehat, aku dan tim memutuskan untuk memotret diam-diam pakai kamera handphone. Canggih…

    Instansi pemerintahan lebih ruwet lagi. Tugas semester 3, kelas dibagi menjadi beberapa tim. Setiap tim harus memilih satu kantor kecamatan yang akan disurvey lalu didesain ulang. Timku entah dengan alasan apa memilih kantor kecamatan di daerah Godean. Pertama, aku dan tim minta ijin ke kecamatan yang bersangkutan, lalu dilempar ke kabupaten Sleman untuk meminta ijin ke Bapeda. Bayangkan dimana letak Universitas Gadjah Mada, Godean, dan kabupaten Sleman…karena itulah masalah perijinan tidak selesai dalam 1 hari saja, mengingat masih ada pula jadwal matakuliah lain dan instansi yang tutup pada Sabtu dan Minggu, plus hari pendek Jumat. Dengan berbagai suka duka menghadapi birokrasi, koneksi sangat diperlukan, bahkan menjadi semacam jackpot. Seperti waktu semester 6, dimana aku dan tim harus mensurvey bangunan rumah sakit. Kebetulan, satu di antara timku memiliki koneksi di rumah sakit Hidayatullah sehingga tidak perlu surat ijin ataupun pengantar dari kampus. Bahkan selama survey, kami dikawal salah seorang petugas, menjadi semacam tour-guide yang bisa kami tanyai ini dan itu.

    Kegiatan survey biasanya diawali dengan kegiatan ukur-mengukur sekaligus menggambar ulang bangunan atau lahan. Beruntung jika kebetulan bangunan yang disurvey masih memiliki blueprint. Tetapi menurut pengalaman, 1)bangunan di Indonesia pada umumnya tidak memiliki blueprint, atau 2)memiliki blueprint yang keberadaannya tidak diketahui, atau 3)memiliki blueprint yang keadaannya mengenaskan. Untuk mengukur, kebanyakan dilakukan dengan menghitung jumlah tegel atau berdasarkan kira-kira *jangan salah…setiap hari berurusan dengan penggaris, kami menjadi jeli dengan ukuran dan angka-angka!!! Beberapa menggunakan meteran, tapi sangat jarang. Entah mengapa kami, terutama para perempuan jarang memiliki keinginan shopping ke toko bangunan. Pekerjaan semacam ini cukup melelahkan, karena itu dibutuhkan tim dengan jumlah banyak dan solid. Banyak, karena harus ada yang menggambar denah, menggambar detail, menghitung tegel, mengukur tinggi dinding dan atau kusen jendela dan pintu, dan lain-lain). Solid, karena harus bisa mempercayai kinerja rekannya, bisa bertanggungjawab kepada tim, dan bisa bekerjasama.

    Baru belakangan ini aku menyadari arti pentingnya itu semua, setelah aku terpaksa bekerja ‘sendiri’, meski sebenarnya bersama dengan 3 orang yang membantuku, yaitu kakak iparku dan 2 orang tukangnya. Selama ini aku bekerja dengan orang-orang yang sudah otomatis mengerti harus melakukan apa, bagaimana cara mengukur, membagi tugas ini dan itu, dan bercakap-cakap dengan bahasa yang kami mengerti bersama. Tapi dengan orang-orang awam ini, aku harus kerja ekstra dan adaptasi ekstra pula. Aku harus menggambar dalam keragu-raguan, karena biasanya angka yang disodorkan mereka yang membantuku mengukur ini entah total tidak akurat, entah justru terlalu detail. Mereka ini menunggu perintah, perintahku, sementara aku sibuk menggambar, sehingga konsentrasiku terpecah belah *dan saat-saat inilah aku merindukan teman-temanku :’(…. Tetapi surveyor harus mampu bertahan, dan aku anggap ini sebagai pengalaman yang berharga.

    Interview tidak selalu dilakukan, karena agaknya aku dan teman-teman menyombongkan sumber informasi utama kami, internet. Tapi satu dua kali interview dilakukan pula untuk menambah referensi dan untuk didokumentasikan. Aku termasuk orang yang sangat jarang sekali melakukan interview karena merasa tidak pandai bicara, jadi tugas interview biasanya menjadi milik teman lain.
    Dokumentasi, kegiatan yang satu ini bukan merupakan kegiatan tambahan atau penunjang, tetapi lebih merupakan kegiatan utama kedua setelah urusan ukur-mengukur. Yang menjadi objek kami adalah bangunan dan lahan, sehingga dokumentasi sangat-sangat diperlukan. Bisa berupa foto, bisa pula rekaman video. Yang kami dokumentasikan bukan saja bangunan atau lahan itu saja tetapi juga keadaan dan suasana sekitarnya, termasuk interaksi yang terjadi, termasuk pula foto-foto diri sendiri dengan pose andalan *survey bisa jadi ajang narsis juga… Di bagian ini pula, aku lagi-lagi merasakan bedanya melakukan survey bersama tim dengan survey ‘sendiri’. Teman-teman biasanya sudah mengerti apa-apa saja yang harus didokumentasikan, atau bagian-bagian mana yang menarik dan berpotensi menjadi bahan bahasan kami nantinya.

    Tentang dokumentasi, ada pengalaman yang cukup konyol juga. Kejadian ini bermula ketika sang Dosen Studio Tematik murka, sehingga aku harus meluncur ke Solo demi suatu bangunan cagar budaya yang terbengkelai, eks rumah sakit Kadipolo. Berdua saja dengan pacarku, aku nekat melakukan survey tanpa surat ijin. Sesampainya di sana, aku bagi tugas dengannya; aku menggambar sambil mengukur, dia mendokumentasikan. Aku sudah terlalu disibukkan dengan bagianku sendiri sehingga membiarkan dia melakukan tugasnya tanpa pengawasan. Di bangunan tersebut aku melihat potensi-potensi yang layak didokumentasikan dan menambah informasi yang kudapatkan, sambil aku memikirkan paragraf-paragraf laporanku besok. Selesai dari sana, aku langsung menyusun laporan. Tetapi alangkah kagetnya ketika akan memasukkan foto, foto-foto yang terpampang 20%nya adalah fotoku yang sedang menggambar plus 1 video saat aku berjingkat-jingkat menghitung tegel, 45%nya adalah foto anak kecil yang kami temui di sana dalam pose-pose setengah telanjang memegang tiang *cita-citanya jadi stripper yah dek?! 15%nya foto narsis kami berdua, 5%nya foto bapak-bapak yang memberi ijin kami masuk, dan baru 15% sisanya adalah foto bangunan dan sekitarnya. Ini salahku juga, tidak memberi instruksi yang jelas dan detail. Dan kuanggap pacarku sudah membayar kesalahannya dengan melakukan interview yang aku butuhkan *makasih ya Bi….

    Pengalaman menjadi surveyor akhirnya bertambah lagi ketika sedang Kerja Praktek di Apartemen Kebagusan City Jakarta. Pekerjaan survey tidak seperti yang sudah-sudah. Kali ini pekerjaanku dan Anin adalah melakukan checklist alias mengecek semua kelengkapan pengerjaan setiap unit apartemen. Misalnya apakah semua pintu dan jendela sudah terpasang, apakah ada kesalahan pemasangan keramik, apakah pengecatan sudah rapi, dan sebagainya. *terdengar menyenangkan?! Perlu diketahui juga, apartemen ini terdiri dari 20 lantai dengan sekitar 20 unit setiap lantainya. Awalnya, mobilitas ke lantai atas menggunakan Alimax, semacam lift untuk material. Menjelang pertengahan bulan, Alimax sudah harus dibongkar dan lift belum dioperasikan, jadilah aku dan Anin naik turun berbekal lutut yang hampir copot di tangga konvensional. Itu masih belum apa-apa, ketika ternyata aku dan Anin harus mengalami siksaan yang jauh lebih meremukkan jiwa raga *tsahhhh…. Jadi, entah bagaimana para pekerja bangunan marah karena kontraktor tidak membayar upah mereka tepat waktu sehingga mereka bekerja asal-asalan. Di sisi lain, sebagai tanggung jawab pihak Manajemen Konstruksi, aku dan Anin berulangkali meminta mereka membenahi pekerjaan. Para pekerja bertambah marah, dan akhirnya terjadilah. Mereka menuliskan kata-kata kasar, jorok, dan bernada pelecehan seksual di sepanjang dinding koridor dengan kapur merah, ditujukan kepada aku dan Anin walau tidak menyebut nama. Aku cuma bisa geleng kepala dan mengelus dada.

    Begitulah… Menjadi surveyor berarti harus menjadi tahan banting terhadap segala hal, baik yang sudah bisa diduga maupun yang belum bisa diduga maupun yang sama sekali tidak terduga. Mungkin, ketika misalnya dunia menjelang hancur karena bencana atau perang, para surveyor-lah yang bisa bertahan hidup lalu melanjutkan keturunan *kecuali memang udah takdirnya harus mati hahaaaa… Yang jelas, aku bangga bisa mencicipi pengalaman ini. Semoga akan ada lagi kesempatan-kesempatan yang lain 🙂

    Regards,
    JachintaDeasy Kencanawati

    Berasa Tuhan

    Posted: May 12, 2011 in Uncategorized

    “..arsitek itu suka berasa Tuhan, berasa paling tau rancangan terbaik buat manusia. Yang paling tau denah terbaik ya…yang ngejalanin sendiri.”

    Kata-kata tersebut di atas aku temukan dalam dialog tokoh film cin(T)a (sudah ada yang nonton filmnya? Recomended abis…., must see!!) Kata-kata itu terus terngiang-ngiang, dan membuatku berpikir ulang. Ada benarnya juga bahwa manusia sekarang seringkali berasa Tuhan, apalagi ketika mereka sudah memiliki keahlian dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Mungkin aku yang selama ini sudah dibekali ilmu-ilmu bangunan, hanya menerapkan apa-apa yang ditulis di buku. Misalnya mendesain toilet apartemen. Di buku standar, letak kloset berada di sebelah kiri bak untuk memudahkan ceb*k. Tapi bagaimana ketika beberapa pemilik unit apartemen ternyata kidal?!

    Itu hanya satu contoh kecil saja. Setelah diam-diam mengamati dan merenungkan, ternyata banyak sekali praktik-praktik semacam ini dalam berbagai bidang dan berbagai skala. Ada satu pengalaman pribadiku yang sangat membekas, begini:
    Suatu hari aku sedang melakukan perjalanan dengan seorang teman laki-laki dari Yogyakarta menuju Surakarta. Sepanjang hari itu aku belum makan, dan ada satu kejadian yang mempengaruhi emosiku. Malangnya, sampai di daerah Klaten, sesak nafasku kambuh. Seperti yang sudah-sudah, saat seperti ini, aku tidak bisa bernafas dan tubuhku kaku. Hidung dan kepalaku seperti kesemutan. Aku minta diantarkan ke rumah sakit, tapi karena aku tidak bisa naik motor, aku menumpang becak. Rumah sakit jauh dari tempat itu sehingga aku dibawa ke puskesmas. Saat itu sudah malam, puskesmas sepi, para penjaganya sedang menonton televisi. Melihat aku yang demikian, mereka dengan malas-malasan membaringkan aku di atas dipan. Aku minta pada mereka agar memberiku oksigen. Aku sudah pernah mengalami seperti ini, dan aku tau bagaimana harus mengatasinya. Tapi, mereka menolak memberikan oksigen. Mereka bilang persedian oksigen mereka terbatas dan harganya mahal. Yang lebih tidak bisa aku terima, mereka mengatakan bahwa aku tidak membutuhkan oksigen. *Terus terang, sampai saat ini, aku masih merasa marah, apalagi saat melewati puskesmas itu lagi. Bagi yang ingin tau, puskesmas yang aku maksud, aku bisa antarkan ke sana kalau mau. Aku serius.

    Aku yang merasakan sakit, bukan mereka. Aku yang mengerti tubuhku, bukan mereka. Tapi mereka bertingkah, seolah-olah menjadi yang paling tau tentang tubuh manusia, tentang apa yang aku derita, tentang apa yang harus mereka lakukan. Mereka hanya menghafal gejala, mereka hanya menerapkan standar operasional, dan dengan demikian mereka berasa Tuhan. Dan dengan berasa Tuhan, mereka tidak lagi melihat manusia sebagai manusia. Padahal, tugas kita sebagai manusia adalah menjadi manusia, bukan menjadi iblis, bukan menjadi malaikat, apalagi menjadi Tuhan. Kalimat ini aku temukan di sebuah buku, aku lupa buku apa (mungkin Anin bisa mengingatkan?!), dan aku tambahkan bahwa tugas kita sebagai manusia adalah memanusiakan manusia.

    Regards,
    JachintaDeasy Kencanawati

    Seseorang berlari membabi buta, diteriaki maling.

    Dua orang di belakangnya mengejar, memaki, lalu memukul berbekal kunci inggris dan pompa angin di tangan hingga darah segar mengucur.

    Seorang bapak berkemeja batik berusaha melerai. Yang diteriaki maling menghiba, bergelayut meminta pertolongan. Dua eksekutor yang masih amarah tetap mencari celah anarki.

    Tak jauh dari situ, dua orang polisi dan mobil patroli yang agaknya sudah lama berada. Seorang pengendara motor melintas melapor. Dengan kumis yang angkuh, salah satu menjawab “Ya…Betul. Memang betul. Nanti saya juga akan kesana, tunggu malingnya RUSAK dulu.”

    What the fuck?!

    it was NOT funny…

    Posted: November 19, 2010 in Uncategorized

    “…so it’s just a joke, right?” tanyamu dalam ketukan ritme keyboard yang berisik, macam mesin ketik tua milik ayahmu.

    Kau pikir usiamu menunjukkan siapa dirimu, membuatmu merasa cukup layak untuk memojokkanku dengan kata-katamu. Tapi maaf saja, kupikir pikiranmu renta jika menganggap aku bisa tunduk menyesal dengan tuduhanmu. Dan ketika kau menganggap aku tidak bisa membedakan bercanda atau tidak -oh maaf, aku tidak selabil itu- aku yang mustinya bertanya dan berteriak:
    “ARE YOU KIDDING ME……???”

    (i will never give you my smile, oh you SAD? i DON’T KNOW…i don’t care, you motherfucker!!!)

    Dekat dengan Kematian

    Posted: November 18, 2010 in Uncategorized

    Tengah malam itu bergulir dalam debar-debar gemuruh Merapi…
    Aku diam saja, menikmati khidmatnya berada dekat dengan kematian
    Ya..kematian, meski hanya dalam buaian media yang berlomba hiperbola

    Wajah-wajah mereka, kawan-kawanku, pucat pasi
    Mengeja berita demi berita yang mereka simpan rapat-rapat dalam hati
    Sudahlah..,aku tak ingin terlibat dalam perspektif mengerikan mereka
    Lebih baik melanjutkan tidur, mengistirahatkan penat di kepala yang dijubeli segala yang tak pasti

    Akhirnya pagi…
    Benar, tak ada apa-apa, semua dalam kendali
    Tetapi media terus saja memojokkan hati yang ciut untuk meninggalkan kota ini
    Satu persatu bayang-bayang meninggalkan rumah berpintu 41
    Dan aku masih bertahan melewati hari yang terasa sunyi dan berjalan sangat lambat

    Dalam sepi ini aku menyadari
    Kesepian adalah pembunuh nomor satu
    Ia menyiksamu perlahan-lahan, mengingatkanmu pada segala hal yang tak ingin kau ingat, membuatmu begitu peka pada tetes air kran yang bocor, pada aroma belerang yang bermain di kesiat-kesiut angin…
    Pertahananku runtuh juga, pada akhirnya
    Hanya bisa mencoba melewati malam ini sebaik malam-malam biasanya, menanti pagi….

    Bersiap meninggalkan tempat ini, dan terus saja berfikir bagaimana jadinya dengan semua yang harus aku tinggalkan…
    Bantal dan guling untukku tidur setiap malam,
    2 rak penuh buku yang aku baca dan puja,
    cermin, dan segala pernik kecil di meja riasku,….
    Ah, rupanya aku sudah tertular melankolia
    Bukankah di sini zona aman, aman sekali bahkan?!
    Tapi di sini, pagi saat akan bergegas pergi, aku jadi mengerti mengapa begitu sulitnya mengevakuasi penduduk lereng Merapi…
    Yah..,manusia adalah makhluk ingatan
    Hidupnya tersusun dari keping-kepingan memori
    Kehilangan memori atas rumah dan desa yang mereka diami selama berpuluh-puluh tahun hidupnya, bukankah itu berarti kehilangan hidupnya?!

    …,

    Posted: September 22, 2010 in Uncategorized

    ini kali pertama,sejak sekian lama,aku akan bertemu lagi dengannya.lelaki,yang bertahun lalu pernah menjadi yang kucinta dan padanya kutanamkan berjuta harap.

    sore ini mendung,tapi hujan tak kunjung turun.berjam-jam yang lalu,aku sibuk meyakinkan diriku sendiri.benarkah aku akan menemuinya,dan apakah benar jika aku memutuskan untuk bertemu denganny?!antara ingin dan tidak,antara merasa harus dan tidak.entahlah,mungkin perasaan yang sama seperti dulu,ketika kita bertemu untuk yang pertama kali.sebenarnya lebih tepat disebut pertemuan kedua,tapi aku lebih suka menyebutnya sebagai pertemuan pertama yang disengaja.

    itu dia.aku tak akan pernah lupa wajah itu,sorot mata itu.meski kini dia bukan lagi pemuda tanggung bercelana jeans belel dengan tindik di telinga kirinya,dan mungkin juga bukan pemuda yang padanya bisa kutitipkan cinta.

    ~~~

    aku tak sengaja menemukan namanya pada artikel sebuah majalah yang kubeli iseng-iseng saja,saat terjebak macet dalam perjalanan dinas.aku hanya bisa tersenyum,rasa ini mendadak tak terejawantah lagi.seakan ingin menertawai betapa rapinya Tuhan mengatur semua ini,menyelipkan esensi pada kejadian kecil yang nyaris tak bereksistensi.

    malamnya aku tak bisa tidur,kubaca lagi dan lagi artikel itu.menarik memang,tetapi tak ada yang lebih menarik saat ini selain alamat email yang tertera di bawah namanya.dan entah bagaimana,aku menemui diriku yang bergejolak saat mengetik pesan elektronik untuknya,sebuah ajakan untuk bertemu.dan entah aku harus tertawa atau apa saat dia membalas pesanku dengan satu kata ‘ya’ saja keesokan harinya.

    itu dia.berjalan perlahan ke arahku dengan seuntai senyum,senyum yang sama seperti dulu,senyum satire yang membuatku nyaris gila.bukan karena senyum itu membuat dia tampak manis,tapi justru karena senyum itu selalu membuatku bertanya-tanya apakah dia bahagia bersamaku.dan setelah sekian lama,dia masih tersenyum dengan cara yang sama.

    ~~~

    ‘hai..apa kabar?’ (sial,kemana semua kosakata,semua tanda baca,semua majas saat aku benar membutuhkanny?!)
    ‘…’ (aku kehilangan kata-kata, lihat apa yang telah kau perbuat padaku,wanita)
    ‘…’ (ah,kamu pasti tahu aku hanya basa basi saja.dan kamu masih ingat cara menyiksaku yaitu dengan diammu.tolong,hentikan,bicaralah.katakan apa saja,ceritakan tentang istrimu atau anakmu,atau apa saja.sepertinya itu lebih baik)

    pelayan datang membawakan menu.

    ‘pesan apa?’ (akhirnya aku punya alasan untuk tidak melamun)
    ‘..cappucinno,dingin’ (terimakasih,pelayan..kau selamatkan aku.tapi aku sedikit ragu,aku tak benar-benar membaca daftar menunya)
    ‘still waiting for your hero?’ (senandung itu lagi?ataukah itu isyaratmu?)
    ‘..maaf?’ (apa maksudnya?)
    ‘oh,hanya bercanda.ehm..pertemuan ini tidak mengganggu kesibukanmu bukan?’ (dia tersinggung.bodoh,aku malah mengacau)
    ‘kalau memang sibuk,aku tak mungkin ada di tempat ini’ (pertanyaan macam apa itu?)
    ‘maaf,aku tak datang di acara pernikahanmu..tak ada yang memberi tahu’ (tolong,jangan katakan kau mencintai suamimu)
    ‘…??ya,tentu saja’ wanita menjulurkan kedua tangannya,tak ada cincin melingkar di sana. (lihat,lihat,kalau kau tahu telah membuatku menjadi bodoh)
    ‘…’ (kamu melajang?kukira kau telah hidup berbahagia dengan seorang pria yang memberimu anak-anak yang lucu)
    ‘kamu tak benar-benar mencariku,dont you?’ (aku sedikit kecewa,kau tahu?)
    ‘kenapa begitu?’
    ‘…’ wanita memandang keluar jendela,sengaja memalingkan muka. (pikir saja sendiri..)
    ‘…’ (hei,apa itu?tattoo di leher kirimu?butterfly?bukankah kau membenci serangga cantik itu?) ‘tattoomu bagus’
    ‘ah..’ wanita meraba leher kirinya.
    ‘kenapa kupu-kupu?’
    ‘..pada suatu hari kuputuskan untuk mencoba mencintai yang aku benci,dan..’
    ‘dan membenci apa yang kau cintai?’ (kenapa kau pergi pada suatu hari,menghilang begitu saja?)
    ‘aku tidak mengatakan begitu…sudahlah,katakan saja apa maumu,kita selesaikan,dan aku pergi.deal?’ (mendadak tak bisa lagi membendung semua,aku jadi sentimental lagi)
    ‘pergi?lagi?’ (kenapa kau selalu mengatakan ingin pergi?jika saja aku bisa,akan kuhapus kata ‘pergi’ dari kosakata yang kau punya)
    ‘…’
    ‘…hmm,baiklah..aku mengajakmu bertemu karena aku ingin menceritakan ini kepadamu’
    ‘cerita?’
    ‘dengarkan saja sampai aku selesai bercerita’
    ‘tapi kenapa..?apakah ceritamu ada hubungannya denganku?’
    ‘coba dengarkan saja ceritaku.kau simpulkan saja nanti.tapi setelah aku selesai bercerita,kuharap kau mau menjawab pertanyaanku.satu pertanyaan saja’
    ‘ya’
    ‘lihatlah ke luar’
    ‘..??’
    ‘senja’
    ‘..??’
    ‘kota ini sudah kehilangan senja selama bertahun-tahun.tepatnya pada hari kau menghilang,meninggalkan kota ini entah kemana..’
    ‘hentikan cerita konyolmu,tidak lucu sama sekali’ (lelucon macam apa ini?)
    ‘kau janji akan mendengarkan..,karena senja menghilang,orang-orang serupa makhluk-makhluk apatis.anak-anak mendekam di rumah,menyetel televisi dengan chanel yang itu-itu saja.direktur membenamkan diri dalam blackberry dan menekan tuts yang sama sepanjang hari.mahasiswa berorasi,menyerukan hal yang hanya diulang-ulang.guru mengajar dengan cara lama meski kurikulum terus diperbaharui.pengemis mengadahkan tangan dengan cara begitu-begitu saja..ya,itulah yang ingin kuceritakan padamu’
    ‘lalu?’
    ‘simpulkan sendiri.bukannya ending macam itu yang kau sukai?’
    ‘maksudku,lalu apa yang kau harapkan dari cerita bohongmu itu?’
    ‘aku tidak berbohong,aku tidak menceritakan kebohongan’
    ‘konyol..mungkin lebih baik kita tidak bertemu hari ini’ wanita bergegas bersiap pergi.
    ‘tunggu..,aku mengaku.aku berbohong’
    ‘lalu untuk apa ini semua’
    ‘dengar..aku berbohong tentang orang-orang tadi.tapi aku tidak berbohong tentang senja yang hilang’
    ‘sore ini ada senja,begitu juga kemarin,dan besok!’
    ‘tadi saat kau datang mendung,bukan?tapi bukan itu intinya.senja memang hilang,bagiku..sejak kau pergi,dan kukira takkan kembali’
    ‘…’
    ‘aku lalu menyibukkan diriku,dengan pekerjaan,dengan rutinitas.aku tak bisa lagi teriak,menyanyi,menari..’
    ‘…’
    ‘mungkin kau ingat quantum?sederhananya begini..dalam waktu 24 jam waktu yang kumiliki,aku bangun lalu mandi lalu sarapan lalu berangkat bekerja,dan seterusnya.dan 24 jam berikutnya aku mengulangi quantum itu lagi.aku tak bisa seenak hati mengubah urutan menjadi bangun tidur lalu berangkat bekerja lalu membaca koran’
    ‘…’
    ‘yah..,mungkin juga tidak seekstrem itu.aku hanya mencoba menggambarkan keadaanku’
    ‘…’
    ‘begitulah ceritaku.sekarang aku hanya ingin kau menjawab satu pertanyaan saja.dan setelah itu kau boleh pergi.tentu saja,tak ada yang akan berubah’
    ‘…’
    ‘kenapa kau tinggalkan aku waktu itu?’
    ‘…sebentar..,aku hanya berjanji untuk mendengar ceritamu.aku tak pernah berjanji untuk menjawab pertanyaanmu’
    ‘…hmm,ya,kau benar’
    ‘tapi,bolehkah aku memberi satu pernyataan?’
    ‘tentu saja’
    ‘aku…ingin mengeja senja lagi bersamamu,seperti dulu…’

    jemari itu saling mencari,tidak lagi di dalam gelap.

    -end-

    yang Tak Tersampaikan

    Posted: September 22, 2010 in Uncategorized

    ini hanya satu cara bodohku,kau tau?!
    menuliskan apa saja yang sejujurnya sangat ingin kusampaikan,
    meski tetap saja tak akan tersampaikan padamu…

    aku menyimpan banyak tanya,
    yang seandainya tersampaikan,
    aku akan menemukan jawaban dalam sekulum senyum manis

    aku ingin kau buat mengerti,
    mengapa anak-anak lelakimu kau beri gelarKencanaPutra,
    sementara anak-anak perempuanmu Kencanawati,
    bukan KencanaPutri?

    kadang aku ingin berdiskusi,
    apa pendapatmu tentang Gie?
    tentang jiwa muda dan idealisme?
    aku yakin, jika itu terlaksana,
    aku akan kau buat tercengang dengan perspektifmu
    dan akan kubuat kau tercengang dengan pikiran-pikiran liarku

    aku ingin kau bercerita,
    anggap saja sebagai dongeng pengantar tidurku,
    tentang Komunisme tentang Sosialisme,
    atau tentang G30SPKI…,
    meski ini serupa tombol vital,
    bagian dari sejarah kelam orang-orang di sekitarmu
    hingga kau kunci rapat-rapat dalam memori dan juga mulutmu
    tapi..sekali waktu,ceritakanlah padaku…

    aku tak ingin kau salah mengerti,
    saat kau sakit, anak-anakmu menelepon sepanjang hari
    menanyakan kabarmu,menyuruhmu berobat,dan menawarkan segala macam yang mereka bisa lakukan
    dan aku hanya diam..,
    bukan berarti aku tak peduli,
    bukan berarti sayangku tidak seberapa,
    tapi karena aku selalu percaya dengan kemampuanmu
    kau terlalu hebat,untuk dikalahkan rasa sakit,,

    dan kau perlu tau,
    aku senang pada akhirnya kita mengakhiri ketidakmengertian kita satu sama lain,
    meski tidak terjadi secara instan ataupun fenomenal..
    tapi perjalanan bersama waktu dan seringkali tidak melibatkanmu,
    mendewasakan aku dalam rebel dan keras kepala pemikiran
    entah harus kusebut suatu kekurangan atau kelebihan,
    aku lebih senang menyebutnya kebanggaan…

    aku berharap,
    meski tak terbahasakan,
    kau tau aku menyayangimu
    aku mengagumimu,
    menikmatimu dari terang dan gelapku
    dan jika suatu saat nanti,
    aku memegang undi,bertaruh untuk hidup atau mati,
    sapalah aku sebagai pribadi,
    dan yakinkan aku bahwa kau akan selalu mengerti
    seburuk apapun hari yang kualami,
    dan aku berjanji..,
    aku tau konsekuensi