Berasa Tuhan

Posted: May 12, 2011 in Uncategorized

“..arsitek itu suka berasa Tuhan, berasa paling tau rancangan terbaik buat manusia. Yang paling tau denah terbaik ya…yang ngejalanin sendiri.”

Kata-kata tersebut di atas aku temukan dalam dialog tokoh film cin(T)a (sudah ada yang nonton filmnya? Recomended abis…., must see!!) Kata-kata itu terus terngiang-ngiang, dan membuatku berpikir ulang. Ada benarnya juga bahwa manusia sekarang seringkali berasa Tuhan, apalagi ketika mereka sudah memiliki keahlian dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Mungkin aku yang selama ini sudah dibekali ilmu-ilmu bangunan, hanya menerapkan apa-apa yang ditulis di buku. Misalnya mendesain toilet apartemen. Di buku standar, letak kloset berada di sebelah kiri bak untuk memudahkan ceb*k. Tapi bagaimana ketika beberapa pemilik unit apartemen ternyata kidal?!

Itu hanya satu contoh kecil saja. Setelah diam-diam mengamati dan merenungkan, ternyata banyak sekali praktik-praktik semacam ini dalam berbagai bidang dan berbagai skala. Ada satu pengalaman pribadiku yang sangat membekas, begini:
Suatu hari aku sedang melakukan perjalanan dengan seorang teman laki-laki dari Yogyakarta menuju Surakarta. Sepanjang hari itu aku belum makan, dan ada satu kejadian yang mempengaruhi emosiku. Malangnya, sampai di daerah Klaten, sesak nafasku kambuh. Seperti yang sudah-sudah, saat seperti ini, aku tidak bisa bernafas dan tubuhku kaku. Hidung dan kepalaku seperti kesemutan. Aku minta diantarkan ke rumah sakit, tapi karena aku tidak bisa naik motor, aku menumpang becak. Rumah sakit jauh dari tempat itu sehingga aku dibawa ke puskesmas. Saat itu sudah malam, puskesmas sepi, para penjaganya sedang menonton televisi. Melihat aku yang demikian, mereka dengan malas-malasan membaringkan aku di atas dipan. Aku minta pada mereka agar memberiku oksigen. Aku sudah pernah mengalami seperti ini, dan aku tau bagaimana harus mengatasinya. Tapi, mereka menolak memberikan oksigen. Mereka bilang persedian oksigen mereka terbatas dan harganya mahal. Yang lebih tidak bisa aku terima, mereka mengatakan bahwa aku tidak membutuhkan oksigen. *Terus terang, sampai saat ini, aku masih merasa marah, apalagi saat melewati puskesmas itu lagi. Bagi yang ingin tau, puskesmas yang aku maksud, aku bisa antarkan ke sana kalau mau. Aku serius.

Aku yang merasakan sakit, bukan mereka. Aku yang mengerti tubuhku, bukan mereka. Tapi mereka bertingkah, seolah-olah menjadi yang paling tau tentang tubuh manusia, tentang apa yang aku derita, tentang apa yang harus mereka lakukan. Mereka hanya menghafal gejala, mereka hanya menerapkan standar operasional, dan dengan demikian mereka berasa Tuhan. Dan dengan berasa Tuhan, mereka tidak lagi melihat manusia sebagai manusia. Padahal, tugas kita sebagai manusia adalah menjadi manusia, bukan menjadi iblis, bukan menjadi malaikat, apalagi menjadi Tuhan. Kalimat ini aku temukan di sebuah buku, aku lupa buku apa (mungkin Anin bisa mengingatkan?!), dan aku tambahkan bahwa tugas kita sebagai manusia adalah memanusiakan manusia.

Regards,
JachintaDeasy Kencanawati

Leave a comment