Edit
kepada ANGIN yang (sedang) BERHEMBUS di TITIK NOL
by JachintaDeasy Kencanawati on Tuesday, November 3, 2009 at 12:00pm
ANGIN,…..
meski kini kau sedang berhembus,
kuharap kau akan mengerti
bahwa aku ingin selalu berbagi
tentang apa saja yang aku alami di sini tanpamu
tentang cerita
tentang pemikiran
soliloquy dan kontemplasi
(notes ini akan selalu aku update, aku janji….)

9 oktober 2009

maaf tak bisa mengantar keberangkatanmu,
tak bisa menjadi saksi langkah pertama pijakan kakimu
pada pencarian
pada penemuan diri
hari ini

aku ingin pulang,,,,
yah….aku merindukan pulang
dan kau tau?
saat kuinjakkan kaki di rumah, aku masih tetap ingin pulang
entah pada apa dan dimana aku ingin pulang……..
kupikir, pulang adalah suatu yang jauh lebih hakiki,
dan aku masih mencari….

12 0ktober 2009

kau telah sampai di titik nolmu….,
aku lega kau baik-baik saja
sebab semalam kemarin, ponselmu tak aktif

hari ini, aku membaca kisah hidup yb mangunwijaya,
manusia hebat itu, sang multitalenta….
ternyata, memang benar seperti kata kugy di perahu kertas,
untuk menjadi apa yang kita inginkan, kadang kita harus melewati fase tidak menjadi diri sendiri
paling tidak…,itulah yang aku tangkap dari kisah yb mangunwijaya
kau harus baca bukunya,
aku pasti dengan senang hati meminjamkannya

mungkin kita juga perlu ‘tersesat’ dulu di arsitektur,
untuk dapat mengenal fotografi,
menjadi wanita perkasa karena rancang bangun dan SK,
menguak rahasia kecintaan yang mulia bapak Pradipto pada bambu,
mengerti bahwa bakatku adalah membuat batu bata dan mengebor,
mengerti bahwa bakatmu adalah membuat kipas dari kantong plastik…,heeeeeee
dan masuk unit penerbitan
kupikir tanpa itu semua,
kita tak akan menjadi seperti sekarang

14-15 oktober 2009

aku tak tidur semalaman….,
tak ada bala bantuan untuk mengerjakan unit penerbitan
tapi tak apa…,mungkin lebih baik begitu,
kita memulai ini berdua,
aku tak pernah membayangkan menyelesaikannya dengan seseorang,
dan itu bukan kamu

aku sungguh berterimakasih untuk malam yang lelah tetapi entah aku begitu menikmatinya,
mungkin aku akan menjadikan unit penerbitan sebagai titik nolku,
dan malam panjang ini,
kuhabiskan bersama mereka yang melagukan energi: SHEILA ON 7
mas eross mas adam dan mas sakti yang bercumbu dengan dawai hingga melepuhkan jari,
mas anton (dan sedikit mas brian) yang keringatnya adalah ketukan-ketukan birama
dan mas duta yang berteriak-teriak bersamaku, membaurkan segala rasa yang ada……

18 oktober 2009

di tangan kiriku,
kini tak ada apa-apa lagi….
aku memilih mengembalikan ruh yang dipinjamkannya padaku,
maaf….
aku tau ini mengecewakanmu,
aku tak bisa penuhi janji padamu
untuk baik-baik dengannya
aku yang tak dapat mendendangkan ‘saat aku lanjut usia’
aku bebal dan bodoh
aku padam, ANGIN….

20 oktober 2009

ANGIN,….
masih ingatkah saat aku memintamu mengajari aku ‘berharap’…..?
karena kukatakan bahwa aku lupa caranya…..?
selama ini aku berbohong, ternyata….
aku punya harapan,
aku tau apa yang menjadi harapanku,
hanya saja aku tak mampu menghidupi harapan itu,
nyaris seperti nyala yang hampir padam

dengan sedikit soliloquy tadi malam,
aku akan belajar untuk menghidupkan lagi nyala itu
sebab justru ketika aku berada di ambang kehilangannya,
aku merasainya…
dia ada,
harapan itu ada…
itulah yang membuatku bertahan….,,,

aneh….
saat kita berhenti mempertanyakan,
jawaban itu datang dengan sendirinya,
dan bahkan dari tempat yang paling dekat:
diri kita sendiri….,

kau benar, ANGIN….
waktu bukan alasan untuk berhenti berharap….

23 oktober 2009

iseben rewel…….,
iseben rewel…….

sudahlah, mari kita gelontor saja dengan…..
mmmmmmm….
SMIRNOFF
hahahahahaha, akhirnya….

ingat kah…?
pernah kuikuti kuisioner yang menyatakan bahwa
kepribadianku mirip dengan SMIRNOFF,
sekarang aku tau kenapa,
SMIRNOFF itu putih pekat,
meski menarik
kita dibuat menerka-nerka,
karena sungguh ambigu,
tak teraba,
adakah ia semanis vodka,
ataukah sehambar heineken…?
lalu kau hirup perlahan aromanya,
kau mati tergoda…
kau reguk, 1….2…3….
ia tak semanis vodka,
ia tak sehambar heineken,
ia adalah ia,
yang dengan caranya menjadi istimewa,
dan resapilah,
dadamu meruah hangat,
ia meninggalkan kesan di sana….,
jika kau cukup hebat untuk memberi ruang padanya,
ia sangat layak untuk kau cinta,
jika tidak,
ia hanya akan berakhir sebagai sosok liar
yang menggelisahkanmu
aku merasa, aku mirip ia….
berlebihankah…?

25 oktober 2009

aku sakit….,
tapi…dia ada di sampingku,
menyuapiku tanpa mengeluh,
menungguiku minum obat dan segelas teh hangat,
aku tau,
aku masih mengharapkannya….
semoga nyala ini bisa kujaga,

1 november 2009

aku ke gereja pagi ini….,
merindukan ekaristi

biarkan aku memberitahumu lebih dulu,
puncak dari ekaristi adalah komunio
sang pastur akan membagikan hosti
yang merupakan hasil transfigurasi tubuh Kristus
komunio adalah pralambang,
bersatu lagi dengan tubuh dan darah Kristus,
memperbaikki hubungan yang terkoyak akibat dosa
seperti itulah….,
maka hosti, meski hanya sekedar roti tak berragi,
tak boleh dibuang,
tak boleh terbuang,

dan aku melihat,
sekeping hosti itu jatuh,
sang pastur mengambilnya,
dan memakannya
dan memberikan padaku hosti lain yang masih berada dalam piala,
hosti yang belum terkontaminasi debu,
hosti yang masih ‘suci’

pastur tak tau betapa aku merasa kecewa dengan ini….,
aku ingin dapat yang jatuh saja,
aku ingin Kristus melayakkan aku
menjadi teman bagi mereka yang terbuang
mereka yang tersingkirkan….,
tapi….,
ternyata belum,
belum untuk pagi ini….

mungkin belum layak bagiku
tapi….,
aku tak akan menyerah begitu saja,
meski dengan caraku,
yang entah akan dimengerti atau tidak,
doakan aku, kawan,
di bentangan sajadahmu….

ayahku, HERMAN PRATIKTO

Posted: September 22, 2010 in Uncategorized

tidak ada yang istimewa…,
sosok yang kuingat darinya adalah:
sandal japit hijau ukuran 10 1/2,
kaos sport putih polos tipis dan kian menipis,
rambut putih menguban,
aroma bawang yang menguar dalam masakan-masakan andalannya
sosialis dalam perkataan dan perbuatannya,
Baginya mungkin keberadaan Tuhan tak ada,
tapi dia adalah orang yang paling rajin mengingatkan aku untuk berdoa
saat murung dan melankolia menghinggapiku
Baginya mungkin tak perlu segala ritus dan kebiasaan,
tapi dia ada, menyediakan dirinya
untuk berbagi simpati dan solusi

suatu hari….,
di antara santai sore dan percakapan panjang tentang dongeng 1001 malam,
aku menemukan namanya: HERMAN PRATIKTO
sebagai seorang pengarang Bendhe Mataram….!
Kucari tahu, siapa itu Herman Pratikto, si pengarang Bendhe Mataram,
karena aku benar-benar haus informasi
kenapa diantara banyak nama, ada 2 nama yang identik sama,
nama yang kupikir tak cukup pasaran….
Tapi…,
informasi yang kudapati sungguh tak mengatasi dahaga,
atas sebuah nama….

Maka,…
kulayangkan sebuah spekulasi…..
Mungkin saja ayahku adalah benar-benar pengarang Bendhe Mataram
sehingga bakat menulisku memiliki asal usul yang jelas
hahahahhahahha….,entahlah….
Sedikit melebih-lebihkan saja,
menurut pengalaman,
seorang WNI keturunan yang terimbas untuk memiliki nama Indonesia,
biasanya memilih nama yang mirip-mirip dengan nama lahirnya
Tapi ayahku tidak…
Terlahir dengan nama Wong Fie Hsian,
dan mengganti nama menjadi Herman Pratikto….??????
Sedikit merasa pantas meniru ucapan Soe Hok Gie,
‘saya percaya saya bisa menulis Ba…,karena saya anak Baba, dan Baba adalah seorang penulis’
Biarlah Herman Pratikto pengarang Bendhe Mataram itu menjadi teka-teki,
aku cukup puas dengan spekulasi ini…,
Meskipun salah….,
kurasa itu bukan masalah….
Aku tetap bangga mengenal seorang Herman Pratikto,
dan dia ayahku….,

….hhh,
Soliloquy pertama kali kulakukan di Jakarta, ibu kota negara…
saat sekeping tanya tentang Terpilih atau Terpanggil,
menjadi satu alasan krisis identitas diri
Menimbulkan sergapan tanya yang lain,
peristiwa semacam apakah yang membuatku porak poranda,
mempertanyakan eksistensi dan esensi
yang selama ini telah diam mantap di tempatnya,
tak terusik…
Dan jawaban adalah pertanyaan itu sendiri,
berhenti mencari,
cukup mengerti….

Soliloquy kedua ini….,
seperti ingin memuntahkan liar yang meranggas dalam kemarau kemarau panjang
dan….
aku hanya bisa bilang,
i still have’nt found what i’m looking for….

saya sadar saya ANJING

Posted: September 22, 2010 in Uncategorized

‘ANJING…..’
entah mengapa setiap kali mengeja kata ini, banyak protes yang aku panen….
Apa salahnya menjadi seorang Anjing?
Anjing adalah simbol dari kesetiakawanan yang dijunjung tinggi,
kata seorang kawan padaku,
dan itulah mengapa aku memproklamirkan diri ‘saya sadar saya ANJING’
Dan bagi mereka yang mengerti aku,
beserta semua anomali yang kujalani,
otak mal-function,
dan loncatan kuantum dalam sistem sarafku,
aku akan selalu jadi ANJING terbaik dalam hidup kalian!!!!

Nb. Aku memilih jalan ini
Berkati aku, Bu….

Lempuyangan, 18 Oktober 2009

Posted: September 22, 2010 in Uncategorized

11.40
selepas ini tak ada lagi kita,
maka ingin kunikmati saat ini, detik ini,
bersamamu,
bersandar nyaman dalam pelukanmu
mungkin untuk yang terakhir kalinya,
mungkin juga tidak….
tapi kita bertingkah,
seolah esok tak lagi ada

kau tersenyum,
aku tersenyum,
kita bercerita
kita tertawa
tapi mata kita berkaca,
masihkah aku ada di sana?
dan butir-butir airmata yang tertahan,
begitu memilukan

11.50
kereta tiba,
mendadak aku tak ingin seperti ini
aku masih ingin bersamamu
lebih lama lagi….

11.55-12.55
kau merengkuh pundakku
sepanjang perjalanan ini
aku tau rasa ini masih ada,
hanya saja kita terlalu bodoh mengejawantahkannya

di pintu kereta,
guratan tinta hitam terbaca jelas:
Bodoh love Jelek
bukankah kau selalu memanggilku ‘Bodoh’?
dan kubalas memanggilmu ‘Jelek’?
kenapa di saat seperti ini,
kenapa di saat kita memutuskan berjalan sendiri…….?

terlalu banyak memori,
melankolia ini sungguh tak wajar….,
terlalu banyak yang terlewatkan
dan entah, masih dapatkah kita…?
dan aku tau,
aku kan merindukan semua hal bodoh yang pernah kita lakukan,

kuharap,
kau tetap menulis….,
karena akulah orang yang paling menantinya,
lupakan saja eyd, tabrak saja tanda baca,
aku selalu menyukainya….

kuharap,
tetap peliharalah dople-doplemu,
dia yang mencintai sahabatnya: Latif Pungkasniar
dia yang bertemu bu suharti di kota lama semarang, dan berbagi wafer
dia yang menelpon aku saat aku kerja praktek, dan mengajakku bernyanyi ‘takkan pernah menyesal’
dia yang mengatakan ‘Mi, aku baru ngerasa ibu sayang aku,,,dan aku juga sayang sama ibu…’
dia yang marah karena kecewa terhadap hedonisme dini anak-anak tanggul grogol
dia yang menangis karena ingin membelai rambutku
dia yang menggenggam tanganku erat, malam-malam suram di warnet
dia yang …..pernah aku cinta, dan akan selalu aku cinta,,,,,

kuharap,
kita mengambil keputusan yang tepat…….
bukan keputusan bodoh,
bukan keputusan emosional
yang akan kita sesali di masa-masa senja kita nanti…..,

stasiun demi stasiun terlewati,
dan aku sungguh masih tetap ingin ini,
bersandar nyaman dalam pelukanmu

13.05
aku tak bisa menawar lagi,
angkuhnya waktu yang berlari….,
kita telah sampai di sini,
stasiun purwosari,
tempat dimana semua menjadi awal lagi,
belajar menjadi pribadi,
meski seorang diri
kumohon……….,
peluk aku lebih lama lagi…

kau telah berdiri di sana,
bersiap pergi
dan aku masih berdiri di sini,
melihat sosokmu,
mungkinkah yang terakhir kali….?
aku berteriak dalam hati,…….’kumohon, tetaplah mencintaiku….’
adakah kau mendengarnya?

13.10
aku sudah tak punya waktu lagi….,
aku pulang, Sayang….

14.35
aku tiba di tempat ini lagi,
kali ini seorang diri….
dan semuanya tak akan sama lagi….,

(untuk Lelaki, kau yang tak pernah kusesali…)

Sebungkus thiwul itu aku beli di pasar, untuk kita bertiga
Sebungkus thiwul itu tergeletak di atas meja, memandang kita bertiga dalam diam
Sebungkus thiwul itu bukan yang pertama, yang akan mengakhiri hidupnya di tempat sampah setelah kita puas mencaci-maki apa saja tentangnya
Tentang bahan pembuatannya yang gaplek
Tentang pembungkusnya yang daun jati
Tentang tekstur, rasa, dan aroma
Bahkan kita merumuskan bagaimana menyelamatkan pembuatnya
Dari jurang kehancurannya sendiri
Dan betapa kelakar kita terdengar sebagai alternatif brilian

Betapapun perut kita lapar, betapapun sebungkus thiwul itu menggoda, kita tak pernah benar-benar menginginkannya

Kita hanya tiga pengkonsep yang terbatas
Terbatasi
Atau membatasi
Entahlah
Sangkaku aku hanya seorang pengkonsep yang takut bertaruh
Kamu seorang pengkonsep yang sedang bergelut dengan tanggungjawab dan prioritas
Dan kamu seorang pengkonsep yang berkejar-kejaran dengan waktu

Pada hari kesekian, aku ke pasar
Tidak ada lagi sebungkus thiwul yang bisa aku beli,
Tidak ada lagi sebungkus thiwul di meja makan kita bertiga

3mm

Posted: June 23, 2010 in Uncategorized

Lelaki itu lelah
Dan Ia merindu rumah
Berkali-kali diejanya kata-kata itu: P-U-L-A-N-G…pulang…
Seperti apa rasanya pulang, tanyanya dalam hati
Mencoba merangkai jawab yang Ia tak tahu pasti
***
Wanita itu sendiri
Tersudut di bawah bayang-bayang
Menanti hari yang bergulir bersama seseorang yang berjanji akan pulang
Sampai kapan, keluhnya dalam sepi
Yang mengurungnya dalam praduga dan prasangka
***
Lelaki : “Aku tiba…”
Wanita : “Tidak…Belum…”
Lelaki : “Tengoklah dari jendelamu, aku di sini, di beranda”
Wanita : “Ya, aku tahu kau di situ, seperti yang sudah-sudah. Kau belum tiba, belum…”
Lelaki : “Ya, kau tahu pasti, aku belum siap untuk itu”
Wanita : “Untuk apa?”
Lelaki : “Kau tahu maksudku”
Wanita : “Untuk apa?”
Lelaki : “…Untuk pulang”
Wanita : “Bahkan aku membiarkan saja pintu itu terbuka untukmu. Agar kau tak perlu mengetuk”
Lelaki : “Aku hanya belum siap. Bukan perkara pintu atau ketukan”
Wanita : “Ya…Aku tahu seperti yang sudah-sudah, karena itu aku menutupnya lagi”
Lelaki : “Kenapa?”
Wanita : “Karena bukan perkara pintu atau ketukan”
Lelaki : “Hei…Kenapa tidak kau saja yang keluar?”
Wanita : “Untuk apa?”
Lelaki : “Menemaniku duduk di beranda, dan ceritakan tentang rumah”
Wanita : “Apa yang bisa kuceritakan tentang rumah?”
Lelaki : “Hangat selimut di saat hujan, cangkir-cangkir tehmu, apa saja…”
Wanita : “Di sini tidak ada apa-apa. Tidak…Tidak seperti yang kau sebutkan”
Lelaki : “Lalu?”
Wanita : “Hanya ada cat terkelupas, keramik pecah, dan sarang laba-laba”
Lelaki : “Kita ini melankolis”
Wanita : “Maksudmu?”
Lelaki : “Yang satu penakut, yang satu selalu sembunyi. Tidakkah kau pikir kita ini manis?”
Wanita : “Aku tidak mengada-ada. Kenyataan ini adalah jawaban jika kau menanyakan rumah”
Lelaki : “Apakah seperti itu sejak dahulu?”
Wanita : “Tidak…Tidak sebelum kau menjanjikan pulang”
Lelaki : “Kalau aku memenuhi janjiku untuk pulang, apakah akan kembali seperti dahulu lagi?”
Wanita : “Aku tidak tahu pasti. Paling tidak kau bisa membantuku mengembalikannya”
Lelaki : “Kalau aku mengetuk pintu, apakah kau akan membukanya untukku?”
Wanita : “Ya…Tentu saja”
Lelaki : “Kau tak akan menyesal, bukan?”
Wanita : “Menyesal untuk apa?”
Lelaki : “Bahwa aku tidak persis seperti yang kau lihat dan mungkin bayangkan dari balik jendela?”
Wanita : “Perbedaan macam apa yang tak terlihat dalam jarak 3 milimeter?”
Lelaki : “Mungkin kulitku tak sehalus yang kau bayangkan saat merabaku nanti”
Wanita : “…”
Lelaki : “Atau aku tak seharum yang kau bayangkan saat mencumbuku suatu waktu”
Wanita : “Asal kau tak meminjam topeng orang lain saja itu cukup bagiku”
Lelaki : “Baiklah…Kali ini aku akan benar-benar pulang”
Wanita : “Ketuklah perlahan saja. Aku tepat di balik pintu. Aku pasti mendengarmu”
Lelaki : “Tok…tok..tok…”
Wanita : “Selamat datang”
Lelaki : “Inikah rumah?Inikah pulang?”
Wanita : “Ya, apa yang kau rasakan?”
Lelaki : “Terbuka dan percaya”
Wanita : “Apa yang kau buka? Dan apa yang kau percayakan?”
Lelaki : “Yang terbuka, diriku. Yang kupercayakan, hidupku”

(JachintaDeasy Kencanawati says – Terimakasih, menepati janjimu untuk pulang, Lelaki…Kau lihat kini, selimut hangat dan cangkir-cangkir teh itu)

Kata ibu, saya aneh.
Sekali waktu saya mengganti potongan rambut ekstrem, panjang sekali di bagian depan dan pendek sekali di bagian belakang atau mengecatnya dengan warna ungu yang menyala di panas matahari.
Ibu mengelus dada.
Sekali waktu saya pulang dengan temporary tatoo di perut, yang saya gambar sendiri hingga belepotan.
Ibu menghela nafas panjang.
Ibu bertanya, tidak bisakah saya menjadi anak perempuan yang biasa-biasa saja.
Saya katakan saya tidak bisa.

Kata ayah, saya aneh.
Kalau saya mau, saya bisa duduk berleha-leha di dalam mobil ber-AC, lalu sampai di tujuan.
Tetapi saya memilih berdesak-desakan dalam bus atau kereta ekonomi, bersyukur dapat tempat duduk, karena lebih sering tidak. Berhenti, ganti angkutan, oper kanan, oper kiri.
Ayah mengeluh, kenapa saya senang sekali mempersulit diri.
Yang ayah tidak tahu, saya menikmatinya, dan sedikit alasan untuk menyuburkan kesombongan saya terhadap kemampuan diri sendiri.

Kata teman, saya aneh.
Sebenarnya saya bisa merasakan bahagia sejahtera jika saja saya mau menumpulkan indera yang saya punya.
Tetapi otak saya tidak mau tunduk, justru selalu melahirkan tanda tanya, tanda seru, titik-titik, dan koma yang saya suarakan melalui mulut saya.
Tidak semua mampu berbicara dengan bahasa saya. Yang kuat bertahan, yang lemah mundur pelan-pelan, persis seperti seleksi alam.

Kata pacar, saya aneh.
Tetapi karena itulah dia mencintai saya, katanya.
Sebenarnya saya ingin bertanya, apa yang disebutnya ‘aneh’ itu?
Karena di luar sana banyak orang aneh, lebih aneh, paling aneh, yang akan mengatakan saya tidak aneh.

A-N-E-H….
Tidak.
Itu bukan saya.
Saya jalang.
Ya…J-A-L-A-N-G.

Saya terlahir sebagai orang desa, maka ketika saya beranjak dewasa dan beranjak menuju ke kota, saya akan merindukan hal-hal yang mengingatkan saya pada masa lalu saya di desa.

Belakangan ini, begitu terobsesinya aku makan mie ayam. Bukan sekedar mie ayam, tapi mie ayam yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
– mangkoknya putih gambar ayam jago
– sumpitnya kayu warna hitam dengan pucuk merah
– saosnya botolan gede yang merknya ga jelas keluaran pabrik mana ( yang waktu SD digosipkan bahwa bahan pembuatannya dari ketela, tomat busuk, cabe busuk, atau malah pepaya…??..)
– masaknya pake tabung minyak tanah, yang bunyinya berisik, kira-kira begini ‘zoooooooooozzzzzzzzzzzzzzzzzzhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh’

Berdua dengan Tikus Beritku Sayang yang aku panggil Bi, ekspedisi dengan misi menemukan mie ayam yang termaksud tersebut dilaksanakan. Teorinya Bi, cari mie ayam desa ya harus ke desa. Berbekal teori itulah, kami berdua blusukan dari desa ke desa dengan catatan tambahan desa yang kami maksud adalah kawasan sub-urban atau yang disebut sebagai kota pinggiran. Maklum, kalo beneran ke desa yang beneran desa, udah keburu laper duluan hahaa… Ya sudahlah, akhirnya kami obok-obok kota pinggiran dari Kartasura, Jajar, Pajang, trus entah mana lagi tuh…sampai Grogol. Susah sekali ternyata, meski aku sudah mencoret salah satu syarat tentang tabung minyak tanah tadi. Aku nyadar, jaman sekarang minyak tanah tuh udah ga kebeli. Dulu minyak tanah 1 liter cuma 6 ratus perak, bensin aja biasanya oplosan sama minyak tanah. Sekarang kabarnya udah 7 ribu per liter, bensin aja ga nyampe 5 ribu (atau enaknya sekarang minyak tanah aja yang dioplos sama bensin?!). Orang-orang udah pada konversi ke gas semua, lebih ekonomis, 3 kilo cuma 14 ribu doang.

Hari itu, ekspedisi berakhir di cemani, dengan pertimbangan baru yaitu layarnya. Kalo layarnya ada sponsornya berarti tidak terlalu desa, tidak memenuhi syarat. Yang kami pilih ini layarnya lethek alias kumel, dengan warna yang ga jelas putih atau kuning atau malah cokelat, font-nya aneh dan ga kebaca, sablonannya masih orde lama. Tapi ternyata, sampai di dalam, aku harus menelan kekecewaan karena sumpitnya udah pake mika yang warnanya krem, trus di meja disediain acar timun plus potongan loncang (daun bawang). Ini mah namanya mie ayam desa transmigrasi… Sebenernya enak sih, tapi karena tidak memenuhi banyak syarat, jadinya aku sedikit sedih.

Bi tau kalo aku kecewa, makanya dia ngajakin ekspedisi lagi. Dan secara ga sengaja nemu penjual mie ayam yang mangkal di pojokan. Bi nanya ke penjualnya “Mas, sumpitnya item kan?” trus penjualnya bingung karena ga siap sama pertanyaan autis itu. Ya udah, akhirnya makan di situ, dan secara kebetulan rasa sambelnya mirip banget yang aku cari selama ini. Ga pake layar, oke. Saos botolan gede, oke. Sumpit item, oke. Mangkok putih, oke.

Di tengah-tengah makan, Bi bilang “Besok kita cari lagi yang masih pake minyak tanah”. Aku pesimis, mana ada hari gini, hari dimana pemerintah giat teriak-teriak tentang konversi ke gas. “Kalo ada, trus harganya 8 ribu satu mangkok mau kamu Bi?” tanyaku. Bi jawab manis banget “Mau…Asal Mi seneng”. Dahsyattttt….emang masih jaman gambar simbah di uang limapuluh ribuan yah?!

Barang siapa bisa memberi info dimana aku bisa nemuin mie ayam sesuai kriteria, hubungi emailku aja yah. Maturnuwun.

Yang terindah dan kau miliki adalah matamu
Dan hari terindah yang kualami bersamamu
adalah ketika aku jatuh tersungkur di bening matamu
Justru ketika kau berembun di pagi itu,
menyisakan sedikit basah di ujung kerah baju

Kini hanya ada aku,
yang tak berhenti bertanya
Adakah aku orang yang sama,
dengan yang pernah tersungkur di bening matamu…?!